Dahulu anak-anak bermain patok lele, kelereng, cabur,dan lain-lain untuk mengisi waktu luang. Saat ini, anak-anak memilih main 'game' ke warnet. Bagi yang mampu cukup dirumah, di komputer atau di android saja. Bahkan, orang dewasa main catur dan domino tidak lagi mencari seseorang untuk bermain, cukup membuka aplikasi yang ada di laptop, maka ia bisa melepaskan hasrat bertarung taktik lawan aplikasi yang ada di laptopnya.
Manusia bagian dari alam yang berubah mengikuti zaman. Di saat, orang-orang takut akan perubahan, selalu menolak, mengapa main game? Itu bukan budaya kita. Cendrung mengkafirkan orang lain, yang tidak sejalan atau se-ide dengannya. Demikian juga dengan memperingati hari besar.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia menggunakan kalender "orang kafir" , libur di hari minggu. Jumat yang seharusnya libur, kita masih bekerja, jangan salahkan pemerintah, bahkan banyak kita lihat pedagang umat islam yang tetap membuka dagangannya di hari jumat, dan ia ikut pula berlibur dengan keluarga di hari minggu menyesuaikan dengan kalender orang "kafir" yang disangkakan.
Pelepasan lampion di Pantai Gandoriah |
Di saat pergantian tahun, menyambut tahun 2016, pemko pariaman menyelenggarakan sebuah acara bertajuk, " melepaskan 1000 lampion kelangit." Agar langit pantai Gandoriah berwarna, sebuah tontonan menarik bagi pengunjung. Kalau tidak salah, essensi dari tujuan di selenggarakan ini adalah mengumumkan pada dunia, bahwa Kota pariaman, adalah kota wisata yang sangat menarik, sebagai destinasi wisata pantai di sumbar layak kunjung.
Saya pribadi, acungi jempol pada pemko pariaman dalam menggarap potensi wisata. Dengan digelarnya banyak acara, usaha industri kecil dan menengah menjadi menggeliat, pedagang kecil nyaris terbantu perekonomiannya. Pendatang yang hadir, jelas telah menyiapkan uang untuk ia belanjakan. Jual-beli akan hidup di kota Pariaman. Anak-anak muda "dipaksa" kreatif melayani pengunjung, agar pengunjung sudi membelanjakan uangnya.
Kota pariaman bukanlah kota tambang, juga bukan kota industri tekstil, elektronik, dan juga bukan kota pendidikan. Jadi potensi satu-satunya yang bisa meningkatkan perekonomian masyarakat adalah menggarap potensi wisata. Pulau dan pantai kota pariaman nan asri, layak 'dijual' pada pengunjung.
Keseriusan pemko pariaman menggarap potensi wisata langkah tepat, penulis melihat sudah banyak hotel/ penginapan yang berdiri megah. Konon kabar, hotel ini mengusung 'konsep syariah' untuk meminimalisasi perbuatan maksiat pasangan mesum. Dengan hadirnya hotel-hotel ini, bukankah menciptakan peluang kerja bagi masyarakat kota Pariaman?
Sementara, kabupaten tetangga yang sudah menutup tempat pariwisatanya dikunjungi di akhir tahun, masih banyak pasangan mesum yang tertangkap basah. Karena perbuatan maksiat itu, ada dalam diri sendiri, tidak mengenal tempat dan waktu. Dan, dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Entah apa yang ada di benak anda. Ketika pemko pariaman menggelar acara akbar, " Tabuik Piaman" misalnya, dikaitkan pula dengan syiah. Lagi-lagi mengkafirkan saudara seiman dan seagama, karena pemko menyelenggarakan acara Tabuik secara besar-besaran. Seolah-olah anda telah mengetahui secara persis, kadar keimanan orang-orang yang berada di pemerintahan pariaman. Terutama, panitia yang menggelar kegiatan.
Bahkan, setiap penyelenggaran kegiatan oleh pemko pariaman, di tuding menyelenggarakan acara menghambur-hamburkan uang rakyat (APBD). Padahal, uang itu adalah modal, dan keuntungannya dirasakan pula oleh pedagang yang juga rakyat. Dan, rakyat membayar pajak / retribusi, yang akhirnya uang yang dikeluarkan itu kembali ke APBD.
Berhentilah anda menuding, dan mengkafirkan saudara seiman dan seagama denganmu. Jika tidak bisa memberi perubahan positif pada daerah, jangan mengkampanyekan daerahmu menjadi "buruk" di media sosial. Tapi, intropeksi dirimu sendiri, jaga keluargamu, bentengi anak-anakmu dengan iman dan perjuangkan ekonomimu demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena, kehidupan ini seimbang, bagaimana pula caranya anda orang yang dirindukan sorga, jika di dunia saja hidup melarat, dan belum bisa berbuat baik pada sesama, serta masih memelihara pikiran negatif pada orang lain.