Gara-gara Miskomunikasi, Petugas Kesehatan Diberitakan

adsense 336x280

Ilustrasi-media-online
Ilustrasi/ Photo: alana.io
ReportaseOnline ~ "Coba ketikan nama lengkap saya di google uda, ada berita miring tentang saya bulan lalu." Ungkap salah seorang dokter pada penulis ketika kami membahas seputar miskomunikasi saat melayani pasien di rumah sakit.

"Sial betul saya Uda." Ucap, sang dokter memulai menjelaskan kronologis mengapa ia diberitakan. 

"Ceritanya begini, seorang ibu muda masuk dengan keguguran. Pasien telah di rawat inap dan dipersiapkan untuk menjalani kuret. Saya telah menjelaskan secara detil tentang persiapan kuret. Persiapan utamanya adalah puasa minimal 6 jam."

Ketika dokter tersebut menjelaskan, pasien terkesan mengerti, pertanda ia paham dengan prosedur yang telah dijelaskan oleh dokter. Tiba waktu penjadwalan kuret, pasien diantar petugas kebidanan masuk kamar operasi.

Di Kamar operasi, pasien diwawancarai oleh Penata Anestesi (petugas bius) ditanyai apakah puasanya cukup sesuai anjuran dokter dan pertanyaan lainnya. Di luar dugaan, ternyata pasien makan roti dan minum jelang berangkat ke kamar operasi, pasien diminta oleh suaminya untuk mengkonsumsi roti tersebut, karena kasihan melihat istrinya dalam kondisi lemas. Tujuan suami agar istri kuat saat kuret.

Mendapati data demikian, Penata Anestesi lapor ke dokter yang menangani pasien, bahwa puasa pasien gagal, karena pasien makan dan minum menjelang masuk kamar operasi. Bila puasa pasien tidak cukup, maka penata anestesi tidak berani membius, sebab beresiko besar terjadi aspirasi.

Aspirasi (tersedak) yakni masuknya makanan dan minuman yang ada dalam lambung ke dalam paru-paru saat terjadinya pembiusan, sebab lambung sedang berisi makanan. 

Bila tetap dibius maka organ pencernaan saluran atas akan relaksasi akibat reaksi obat bius, sehingga kontraksi dari atas ke bawah ikut istirahat, jadi beresiko besar masuknya makanan dari lambung ke paru, bila makanan dan cairan masuk paru, maka pernafasan akan terganggu, bahkan henti nafas nan bisa mengakibatkan kematian di atas meja operasi. Hal demikian yang ditakutkan penata anestesi. Kebetulan di rumah sakit daerah tersebut juga dokter anestesi belum ada.

"Saya kaget Uda, seakan tidak percaya, mendengar bahwa puasa pasien tidak cukup, karena saya telah menjelaskan sebelumnya. Lalu saya konfirmasi ke pasien, ternyata benar, pasien makan roti dan minum atas permintaan suaminya" Ungkap dokter menceritakan kejadian dengan semangat pada penulis.

Akhirnya dokter meminta suami pasien kedalam ruangan, serta menjelaskan bahwa tindakan kuretase diundur hingga puasa lengkap, serta dokter kembali menjelaskan resiko yang akan terjadi bilamana kuretase dengan pembiusan umum tetap dilakukan.

Saat dokter menjelaskan suaminya protes, mengira tindakan sengaja diundur dengan akal-akalan. Bahkan, emosi suami dengan nada tinggi meledak-ledak dipicu oleh rintisan istrinya yang kesakitan. Suami ngotot meminta tindakan kuret tetap dilakukan detik itu juga.

Malam itu, dokter yang curhat pada penulis mengungkapkan, memberi pilihan pada suami pasien, bahwa prosedur yang berlaku di rumah sakit tempatnya bekerja demikian, jadi petugas disana bekerja sesuai SOP, manakala tidak puas dengan SOP pelayanan tersebut  bisa mencari pilihan lain ke rumah sakit lain, dan tidak perlu marah-marah.

Lalu, suami mengancam dan segera membawa istrinya pindah ke rumah sakit lain. Di rumah sakit lain, entah langsung ditindak atau tidak, penulis tidak dapat keterangan. Tapi, sungguh diluar dugaan, esok hari berita miring tentang pelayanan dokter viral di kabupaten setempat, ia di caci maki melalui ruang komentar oleh warga setempat. Penghakiman tanpa pertimbangan terarah pada dirinya.

Celaka, pihak manajemen rumah sakit pun ikutan-ikutan menyalahkan, sehingga dokter tersebut dan tim menjelaskan kronologis kejadian pada manajemen rumah sakit. Dan manajemen hanya bungkam, idealnya mengundang media yang memberitakan sepihak tanpa verifikasi tersebut agar ia bisa kembali meluruskan kronologis sebenarnya, agar masyarakat tidak krisis kepercayaan.

Namun, hal demikian tidak didapatkan oleh dokter dan tim, pandangan negatif dari pembaca telah melekat didirinya sebagai dokter arogan nan mengusir pasien, serta malas melakukan tindakan.

"Saya benar-benar urut dada Uda, saya juga kecewa dengan manajemen rumah sakit, jelas-jelas ini fitnah kepada saya dan tim. Awalnya, saya mau menempuh jalur hukum menuntut tuduhan keji terhadap saya. Namun, setelah saya menelpon orang tua, papa meminta tidak perlu digubris, jadi saya urung memperkarakan, serta membiarkan pemberitaan miring tak berimbang itu ada di indeks google." Jelas dokter mengenang masa lalu nan pahit.

Pembaca yang budiman, banyak hal miskomunikasi terjadi di pelayanan kesehatan, terutama di rumah sakit. Sebagai tenaga kesehatan, kadang dihadapkan pada posisi dilematis. Semua orang ingin di tolong segera, tapi ada oknum tidak mau mematuhi aturan dan anjuran petugas. Biasanya oknum yang tidak patuh itu, memiliki 'power' di daerahnya, keluarga pejabat, atau pemegang kekuasaan, atau karib-kerabat orang-orang yang berkecimpung di media massa. Sehingga dengan mudah menekan dan merubah opini publik, tapi dampaknya tak dihiraukan.

Terkadang media abal-abal  ikut pula memanasi suasana tanpa konfirmasi  pada orang yang ia beritakan, terutama media online yang tak jelas izin operasionalnya. Dan, pembaca yakin pula 100 persen bahwa isi berita adalah fakta dan benar adanya. 

Padahal dewan pers telah membuat panduan, setiap pemberitaan yang akan merugikan seseorang wajib di verifikasi. Sebab, berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. Manakala subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya atau tidak dapat diwawancarai maka pihak media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.(AntonWijaya)
adsense 336x280