Budaya merantau, pilihan atau ancaman?

adsense 336x280
Saat lebaran datang, perantau berbondong-bondong mudik. Kampung halaman terasa begitu hidup. Jalanan yang biasanya lengang, dipastikan macet oleh arus bolak-balik kendaraan berplat luar daerah. Pusaran ekonomi terasa menggeliat selama perantau berada di ranah.  Orang rantau tidak pelit berbagi uang lebaran kesanak famili, sehingga orang kampung ketiban rezeki dengan kehadiran perantau.

Lagak langgam Perantau begitu dahsyat di pandang mata. Juga jadi bahan gosip bagi pemuda/pemudi di Lapau (baca: warung). Bahwa, si Anu bawa mobil pulang, penampilanya beda, konon kabar sudah punya beberapa Ruko di Pulau Jawa. Selama lebaran, kuping ini di suguhi tentang kesuksesan yang telah diraih perantau di negri orang. Tolak ukurnya adalah mobil mewah, perhiasan yang dipakai dan kedermawanan sang perantau.

Dahsyatnya daya tarik merantau menghadirkan keinginan kuat bagi pemuda yang ada dikampung untuk mengikuti jejak sanak saudaranya yang telah sukses di negri orang. Melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi bukanlah pilihan menarik, apalagi menggarap lahan tidur dikampung.

Kehidupan merantau sangat melekat dalam diri urang awak, terkhusus di kampung saya Sungai Geringging, Kabupaten Padang Pariaman. 

Jika ada beberapa orang anak kampung berstatus mahasiswa yang duduk selapau dengan perantau, ia akan kehilangan daya tarik. Apalagi perantau disandingkan dengan seorang petani/peternak. Jelas akan tertinggal  status sosialnya di mata awam. 

Perantau sangat gampang mengeluarkan Kepeng (baca: uang) untuk mentraktir orang yang duduk di lapau. Jangankan mahasiswa atau petani, PNS yang berdomisili di kampung akan sulit mengimbanginya.

Lebaran usai. Saku perantau mulai menipis, satu persatu mulai hilang dari ranah. Satu orang perantau, insyaallah akan membawa 1 orang atau lebih pemuda ke tempat ia merantau. Biasanya, atas permintaan orang tua pemuda tersebut. 

Keinginan kuat juga muncul karena tidak tahan mendengar cemeeh dari kawan-kawan di Palanta. Kalau berlama-lama di kampung, pemuda tersebut akan dinobatkan oleh masyarakat sebagai Tuo Kampuang

Pemicu lainya, pemuda Pariaman akan sulit dapat istri rancak. Orang tua pihak perempuan tidak rela uang jemputan (baca: mahar) diberikan pada lelaki yang belum produktif dari sisi ekonomi. Solusi efektif, berniagalah untuk cepat dapat uang. Jika kuliah, cari kerja dulu, akan telat kawin, aturan ditempat kerja harus mengabdi beberapa tahun baru boleh menikah.

Mayoritas urang awak, kurang antusias jadi petani, peternak atau mahasiswa. Jikapun seorang pemuda kampung berprofesi sebagai petani/peternak, ia akan sulit masuk nominasi menantu idaman. Dan akhirnya, berniaga di rantau adalah pilihan yang mampu menawarkan harapan.

Keadaan di rantau tidak selalu menjanjikan. Perantau tidak semudah membalik telapak tangan untuk meraih kesuksesan. Mereka banting tulang siang dan malam. Rela berjemur dibawah teriknya matahari dan siap siaga basah kuyup disaat hujan. Semuanya butuh usaha dan perjuangan. Tidak seindah yang dilihat ketika perantau dengan mudah metraktir atau memberi uang disaat lebaran.

lahan potensial kampung tercinta
Lahan potensial kampung tercinta
Alangkah eloknya lahan potensial kampung diberdayakan. Sumatera Barat akan semakin tertinggal dari daerah lain, jika bibit potensial terus bermigrasi dan menggarap lahan orang lain.

Sumbar memiliki luas wilayah 42.297,30 km2 dan punya 45.000 hektar lahan terlantar serta 4600 hektar lahan tidur yang tersebar di 12 kabupaten dan 7 kota. Lahan yang terbengkalai tidak digarap secara maksimal (Wikipedia).

Sangat disayangkan, tungau diseberang lautan jadi lirikan, sementara Gajah di pelupuk mata tidak diberdayakan.
adsense 336x280